Kamis, 07 April 2011

SAYAP CINTA YANG PATAH


Satu kata yang kini menyisakan goresan luka yang begitu dalam di hati Ririn, yaitu kata cinta yang di ucapkan Rama satu tahun lalu. Kata yang pernah membuat hatinya terbang dengan sayap bidadari yang begitu indahnya, dan kini kata itulah yang membuat sayap itu patah dan akhirnya Ririn terhenpas ke jurang patah hati yang begitu dalam, hingga Ia tak sanggup untuk bangkit dan keluar dari jurang itu.
            Ririn menyebut itu hukum cinta yang sudah di gariskan Tuhan untuknya, tapi tetap hatinya tak bisa menerima kenyataan itu, kenyataan saat Ia harus kehilangan Rama yang begitu Ia cintai. Memang Rama tak sepenuhnya meninggalkan Ririn, karna sampai sekarang Ia masih sering bertemu, namun cinta Rama sudah jauh terbang meninggalkan Ririn yang hingga kini masih terpuruk di jurang patah hati.
            Ririn masih terpaku di pinggir Danau yang tak begitu luas, namun masih bisa menampung kesedihan yang selama setahun ini menyelimuti hatinya. Satu kenyataan pahit yang harus Ia terima, berapa banyak pun hati yang menghampirinya, Ia masih belum sepenuhnya melupakan cinta yang sudah membuat hatinya Hancur, menjadi kepingan-kepingan yang sulit untk di susun kembali.
            Lima bulan lalu saat Tuhan mempertemukan Ririn dengan Rama, yang kini sudah dimiliki hati yang lain, Ririn harus mampu menahan gejolak yang tercipta dalam hatinya. Sakit memang, namun inilah kenyataannya. Senyum yang menyimpan beribu tetes air mata, yang masih tertahan.
            Suara yang tak asing lagi di telingan Ririn, yah siapa lagi kalau bukan suara Rama yang kini terdengar jelas di telinganya, “pantai yang indah untuk mengukir kenangan yang indah pula”, Ririn terdiam mendengar suara itu berbisik di telinganya. Ririn hanya mampu membalasnya dengan berdiri membisu dan memalingkan pandangannya dari Rama. “kenapa.??, kenapa kamu tetap berdiri kokoh di atas kemunafikanmu itu, cinta itu belum mati Rin, cinta itu masih tumbuh di hatimu, jangan biarkan kemunafikanmu itu membuat cintamu hilang”,
 Bendungan airmata yang dari tadi di pertahankan Ririn kini bobol sudah, tetes air mata yang makin lama makin deras dan di sertai isak yang terdengar samar, “bukankah kemunafika itu adalah kamu??, ya… kemunafikan itu Kamu Rama”. Sambil menyeka air matanya, Ririn melanjutkan perkataanya, “biarkan aku berdiri di tengah kemunafikanku, tapi apakah pernah terbayang olehmu, jika cinta yang begitu kau sanjung kini berubah menjadi cinta yang paling kau benci dan melahirkan sebuah kemunafikan, dan kemunafikan itu kamu”. Rama menatap mata Ririn yang kini sudah berubah menjadi telaga air mata yang bergelombang, dan menggambarkan sakit yang begitu dalam.
            Detik demi detik berlalu tanpa kata, sampai akhirnya Rama mencoba meraih tangan Ririn, yang dari tadi sibuk menyeka air mata yang mengalir begitu derasnya. “cinta itu masih ada, cinta itu ada Rin”, Ririn memalingkan wajahnya dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Rama, “Aku tahu cinta itu ada, tapi cinta itu bukan untukku, cinta itu sudah terbingkis untuk hati yang lain”, Rama  kembali meraih tangan Ririn, “cinta kita masih ada, mencintaimu adalah kenangan terindah yang pernah terlukis dalam hidupku, aku ingin menyimpan lukisan cinta kita, dan akan ku simpan di hatiku, tanpa ada seorangpun yang bisa mengambil, atau mengahpusnya dari hatiku, karna cinta itu adalah Kamu”. Ririn mencoba menatap mata yang dari tadi mengharapkan balasannya, “simpan saja kata indahmu itu, semua sudah tak berarti lagi, biarkan aku terbang walau dengan sayap cinta yang tlah patah”.
            Rama menarik nafas panjang dan memalingkan pandangannya, Ia mencoba menterjemahkan kata demi kata yang di ucapkan Ririn, sampai akhirnya Ia menemukan kesimpulannya. “aku akan membiarkanmu terbang dan lepas, cintamu bebas untuk bertengger di hati siapapun yang kamu mau, tapi ingat, suatu saat, cinta itu akan terbang kembali untukku”. Rama melangkah meninggalkan Ririn yang kini masih berdiri di tepi jurang kesendiriannya.
            Ririn berbalik menatap langkah Rama yang kini mulai menjauh darinya. Ririn hanya mampu menjerit dalam hati, “cinta, bukan cerita seperti ini yang aku mau. Cinta… jangan pergi, jangan biarkan aku sendiri”. Rama seolah mendengar jeritan itu, Ia menoleh dan mendapati Ririn yang masih berdiri terpaku tanpa mencoba menghentikan langkah Rama. Rama pun berlalu tanpa kata.